AYAH, KAPAN KITA BERTEMU?
Aku masih di sini.
Suasana yang terasa
menyudutkanku. Tetap pada pandanganku ditemani embun pagi sisa hujan semalam
dengan secangkir kopi hitam.
Aku masih tetap di
sini, memperhatikan canda tawa mereka yang terasa sangat renyah. Namun pilu
bagiku. Entah mengapa aku sangat cemburu pada mereka. Mereka yang memiliki
keluarga yang utuh. Mereka yang memiliki seorang AYAH. Tidak sepertiku. Sejak
aku memandang dunia hingga rasanya aku ingin meninggalkan kehidupan ini, aku
tak pernah bertemu dengannya. Wajahnya pun aku tak tahu.
“Kak, mau kah kakak
membeli kue ini? Kue ini sangat enak dan dapat menghilangkan rasa sedih,” pinta
seorang gadis kecil berusia sekitar 6 tahun.
“Nama kamu siapa adik
manis?”
“Nama aku Kayra. Nama
kakak siapa?”
“Nama kakak Joy. Oh
iya, kakak beli yang ini.” Aku mengambil 2 jenis kue yang ia tawarkan, lalu
membayarnya.
“Terimakasih kakak.”
“Kamu sendirian? Dimana
orangtuamu?”
“Orang tua Kay sudah
lama meninggal. Sekarang Kay tinggal bersama kakek. Itu dia kakek Kayra,”
menunjjuk ke arah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang sedang memikul
dagangannya.
“Kakek…..” teriak Kayra
sambil melambaikan tangannya. Lelaki itu seketika menoleh lalu tersenyum sangat
hangat.
“Kay pergi dulu yah
kak, Kay harus menemani kakek berjualan. Terimakasih sudah membeli.”
“Boleh kakak ikut
menemani kalian berjualan?”
“Wah, tentu saja
boleh.” Dengan sangat bersemangat Kayra Langsung saja menarik tanganku untuk
bertemu dengan kakeknya.
“Kayra, tunggu di sini
dulu yah. Kakak harus kesana sebentar. Ok?” menunjjuk kearah kasir. Setelah
membayar, aku kembali menemui gadis kecil itu dan langsung menemui kakeknya.
“Kakek.. Kakek… Kayra
punya teman baru. Namanya kakak Joy. Kakak ini ingin ikut berjualan dengan
kita. Boleh kan kek?” suara Kay terdengar sangat mengharapkan kakeknya
mengizinkanku untuk ikut bersamanya.
“Perkenalkan pak, nama
saya Joy. Bolehkah saya menemani kalian berjualan?”
“Kek boleh yah?” rengek
Kayra.
“Kayra dia orang asing.
Kayra tidak boleh merepotkan orang lain. Kayra paham kan?” lelaki itu berbisik
seolah kata-kata itu tak boleh aku dengar. Kayra hanya diam dengan raut
wajahnya yang mendung.
“Maaf nak, sebaiknya
kamu pulang saja. Apa kata orangtuamu nanti jika melihatmu menjajakan kue-kue
ini di pinggir jalan.”
“Tentunya orang tuaku
pasti sangat bangga kepadaku. Jadi aku mohon, iznkan aku membantu kalian untuk
berjualan.”
“Kek….” Kay memegang
tangan kakeknya sangat erat, seakan memberikan isyarat.
“Baiklah untuk hari ini
saja.”
Sinar matahari siang
ini sangat tajam menusuk. Namun tak sedikit pun terlihat keluh dari Kayra dan
kakeknya.
“Kue… kue… ayo kue
kakek Kayra enak loh. Kue… kue…” teriak Kayra yang berjalan sambil menggadeng
tanganku. Aku pun mengikuti kata-kata yang dilontarkan oleh Kayra.
***
Hari ini terasa
berbeda. Tidak lebih dari 3 jam kue dagangan mereka telah habis terjual.
“Alhamdulillah.” Suara
itu terdengar sangat halus dari lelaki itu. Tiba-tiba saja lelaki itu menatapku
sangat dalam. “terimakasih yah nak,” kata lelaki itu yang membuatku terkejut.
Karena sedari tadi lelaki itu sangat dingin padaku. Aku membalasnya dengan senyuman.
“Kek, Kayra lapar”
“Ia sayang, kita akan
segera makan. Kayra mau makan apa?” tanya lelaki itu sangat lembut.
“Kayra mau itu,”
menunjjuk salah satu Rumah Makan Padang yang berada di seberang jalan.
“Bagaimana kita ke sana
saja, makan di rumah makan itu? Biar saya yang bayar pak.”
“Tidak usah, uangku
memang tak sebanyak kamu anak muda, namun aku tak ingin meminta atau bahkan
makan dengan rasa belas kasihan dari orang lain.” Wajah lelaki itu sedikit
memerah. Aku terdiam. Lelaki itu segera menyebrang jalan yang cukup ramai
dipenuhi hilir-mudik kendaraan.
“Kakak tampan takut yah
sama kakek? Kakek Kay itu baik tahu”
“Oh ya?”
“Iya! Di dunia ini
dialah yang terbaik. Kata kakek, orang tua Kay sedang ada di Surga. Makanya
kakek menyuruh Kay untuk berbuat baik, biar Kay bisa bertemu dengan mereka.
Kakeklah yang merawat Kay selama ini. Kakek juga berjanji bahwa tahun depan Kay
akan bersekolah.” Kata dari gadis kecil ini membuatku tak dapat berkata. “kakek
tidak pernah memarahi Kay, kakek selalu baik pada Kay. Kakek sangat pintar
membuat kue. Kue yang di jual tadi semuanya buatan Kakek. Hebatkan Kakek
Kayra?” Kay tersenyum kepadaku. Aku tetap pada diamku. “tapi ada al yang
membuat Kay bingung. Kakek Kay menyimpan foto perempuan. Setiap kali
memandangnya kakek mendadak sedih. Mungkin itu nenek. Tapi, setiap kali Kay
bertanya tentang nenek, kakek hanya diam
saja.”
“Kalau begitu berarti
Kay jangan bertanya soal nenek lagi. Kay gak mau kan jika kakek bersedih?” Kay
mengangguk. Nampak dari kejauhan lelaki itu keluar dari Rumah Makan Padang
dengan membawa bungkusan yang ia genggam di tangannya.
“Kay……” teriak lelaki
itu dari kejauhan sambil mengangkat bungkusan yang ia pegang. Terlihat senyum
bahagia dari wajahnya. Lelaki itu pun langsung menyebrang, namun tak disangka
sebuah mobil melintas dengan sangat laju dan akhirnya menabrak lelaki itu.
Darah bercucuran memenuhi tempat kejadian. Pohon-pohon nampak sunyi, burung pun
berhenti bernyanyi melihat tragedi yang terekam oleh langit. Lelaki itu tak
bergerak. Semua pengendara lain seketika terhenti.
“Kakeeekkk…..” teriak
Kayra memecah sunyi yang terekam dalam beberapa detik itu. Kayra langsung
berlari menghampiri kakeknya. Dan aku berusaha mengejar langkah Kayra.
“Kakek bangun kek,
Kakek banguuunnnn…. Kakeekkk…” Isak tangis Kayra memecah.
“Cepat bawa bapak ini
ke Rumah Sakit!”
***
“Apa anda adalah
keluarga korban?”
“Iya dok, bagaimana
keadaannya?”
“Maaf, kami sudah
berusaha. Tapi Tuhan yang berkehendak. Bersabarlah.” Kata-kata itu seakan
membuat tulang-tulangku rontok. Ini pertama kalinya aku merasa sangat
kehilangan seseorang yang sebenarnya bukan sapa-siapa di hidupku. Aku
memperhatikan wajah Kayra yang tertidur dengan bajunya yang berlumuran darah.
Aku segera menggendong Kayra pulang ke rumahku.
Malam telah lenyap di telan
duka. Lalu berganti dengan cahaya embun pagi yang siap menuliskan kisah. Kayra
hanya terdiam di pangkuan ibuku. Wajah kayra menerawang kesedihan saat jasad
kakeknya dimasukkan ke dalam liang lahat. Kayra tetap memperhatikan jasad
kakeknya sampai tanah-tanah itu menutupi seluruh tubuh kakeknya, dan
menguburnya untuk selama-lamanya.
“Kayra sekarang tinggal
dengan ibu ya? Anggap ibu ini sebagai ibu Kayra?” kata ibuku kepada Kayra yang turut
berduka dengan tragedi yang menimpa Kayra dan kakeknya.
“Nenek?” Kay tiba-tiba
menempelkan tangan kecilnya ke pipi ibuku. Ibuku terdiam heran. “wajah tante
sangat mirip dengan foto itu.”
“Kay?” suaraku lirih
memandang Kayra.
“Bisakah kalian ikut
bersama Kay ke rumah kakek?” Aku dn ibuku menuruti keinginan Kayra. Kebetulan rumah
kakek Kayra tidak jauh dari lokasi pemakaman.
“Itu rumah kakek,” menunjjuk
ke sebuah rumah kayu tua yang nampak sangat usang. Aku segera membuka pintu
rumah tersebut. Kemudian Kay menerobos masuk ke dalam dan mengambil sesuatu di
balik tikar bambu.
“Apa ini foto tante?” Kay
menyodorkan sebuah foto yang sudah usang
ke ibuku. Mendadak wajah ibuku menjadi sangat layu. Foto tersebut
kemudian terjatuh ke lantai beralaskan tanah. Ibuku terdiam membeku. Kemudian
memelukku dengan sangat erat.
“Dia adalah ayahmu
nak.”
Balikpapan, 6 Februari 2016
Karya: Astrini Arifuddin