Selasa, 03 Mei 2016

CERPEN: AYAH, KAPAN KITA BERTEMU?



AYAH, KAPAN KITA BERTEMU?
Aku masih di sini.
Suasana yang terasa menyudutkanku. Tetap pada pandanganku ditemani embun pagi sisa hujan semalam dengan secangkir kopi hitam.
Aku masih tetap di sini, memperhatikan canda tawa mereka yang terasa sangat renyah. Namun pilu bagiku. Entah mengapa aku sangat cemburu pada mereka. Mereka yang memiliki keluarga yang utuh. Mereka yang memiliki seorang AYAH. Tidak sepertiku. Sejak aku memandang dunia hingga rasanya aku ingin meninggalkan kehidupan ini, aku tak pernah bertemu dengannya. Wajahnya pun aku tak tahu.
“Kak, mau kah kakak membeli kue ini? Kue ini sangat enak dan dapat menghilangkan rasa sedih,” pinta seorang gadis kecil berusia sekitar 6 tahun.
“Nama kamu siapa adik manis?”
“Nama aku Kayra. Nama kakak siapa?”
“Nama kakak Joy. Oh iya, kakak beli yang ini.” Aku mengambil 2 jenis kue yang ia tawarkan, lalu membayarnya.
“Terimakasih kakak.”
“Kamu sendirian? Dimana orangtuamu?”
“Orang tua Kay sudah lama meninggal. Sekarang Kay tinggal bersama kakek. Itu dia kakek Kayra,” menunjjuk ke arah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang sedang memikul dagangannya.
“Kakek…..” teriak Kayra sambil melambaikan tangannya. Lelaki itu seketika menoleh lalu tersenyum sangat hangat.
“Kay pergi dulu yah kak, Kay harus menemani kakek berjualan. Terimakasih sudah membeli.”
“Boleh kakak ikut menemani kalian berjualan?”
“Wah, tentu saja boleh.” Dengan sangat bersemangat Kayra Langsung saja menarik tanganku untuk bertemu dengan kakeknya.
“Kayra, tunggu di sini dulu yah. Kakak harus kesana sebentar. Ok?” menunjjuk kearah kasir. Setelah membayar, aku kembali menemui gadis kecil itu dan langsung menemui kakeknya.
“Kakek.. Kakek… Kayra punya teman baru. Namanya kakak Joy. Kakak ini ingin ikut berjualan dengan kita. Boleh kan kek?” suara Kay terdengar sangat mengharapkan kakeknya mengizinkanku untuk ikut bersamanya.
“Perkenalkan pak, nama saya Joy. Bolehkah saya menemani kalian berjualan?”
“Kek boleh yah?” rengek Kayra.
“Kayra dia orang asing. Kayra tidak boleh merepotkan orang lain. Kayra paham kan?” lelaki itu berbisik seolah kata-kata itu tak boleh aku dengar. Kayra hanya diam dengan raut wajahnya yang mendung.
“Maaf nak, sebaiknya kamu pulang saja. Apa kata orangtuamu nanti jika melihatmu menjajakan kue-kue ini di pinggir jalan.”
“Tentunya orang tuaku pasti sangat bangga kepadaku. Jadi aku mohon, iznkan aku membantu kalian untuk berjualan.”
“Kek….” Kay memegang tangan kakeknya sangat erat, seakan memberikan isyarat.
“Baiklah untuk hari ini saja.”
Sinar matahari siang ini sangat tajam menusuk. Namun tak sedikit pun terlihat keluh dari Kayra dan kakeknya.
“Kue… kue… ayo kue kakek Kayra enak loh. Kue… kue…” teriak Kayra yang berjalan sambil menggadeng tanganku. Aku pun mengikuti kata-kata yang dilontarkan oleh Kayra.
***
Hari ini terasa berbeda. Tidak lebih dari 3 jam kue dagangan mereka telah habis terjual.
“Alhamdulillah.” Suara itu terdengar sangat halus dari lelaki itu. Tiba-tiba saja lelaki itu menatapku sangat dalam. “terimakasih yah nak,” kata lelaki itu yang membuatku terkejut. Karena sedari tadi lelaki itu sangat dingin padaku.  Aku membalasnya dengan senyuman.
“Kek, Kayra lapar”
“Ia sayang, kita akan segera makan. Kayra mau makan apa?” tanya lelaki itu sangat lembut.
“Kayra mau itu,” menunjjuk salah satu Rumah Makan Padang yang berada di seberang jalan.
“Bagaimana kita ke sana saja, makan di rumah makan itu? Biar saya yang bayar pak.”
“Tidak usah, uangku memang tak sebanyak kamu anak muda, namun aku tak ingin meminta atau bahkan makan dengan rasa belas kasihan dari orang lain.” Wajah lelaki itu sedikit memerah. Aku terdiam. Lelaki itu segera menyebrang jalan yang cukup ramai dipenuhi hilir-mudik kendaraan.
“Kakak tampan takut yah sama kakek? Kakek Kay itu baik tahu”
“Oh ya?”
“Iya! Di dunia ini dialah yang terbaik. Kata kakek, orang tua Kay sedang ada di Surga. Makanya kakek menyuruh Kay untuk berbuat baik, biar Kay bisa bertemu dengan mereka. Kakeklah yang merawat Kay selama ini. Kakek juga berjanji bahwa tahun depan Kay akan bersekolah.” Kata dari gadis kecil ini membuatku tak dapat berkata. “kakek tidak pernah memarahi Kay, kakek selalu baik pada Kay. Kakek sangat pintar membuat kue. Kue yang di jual tadi semuanya buatan Kakek. Hebatkan Kakek Kayra?” Kay tersenyum kepadaku. Aku tetap pada diamku. “tapi ada al yang membuat Kay bingung. Kakek Kay menyimpan foto perempuan. Setiap kali memandangnya kakek mendadak sedih. Mungkin itu nenek. Tapi, setiap kali Kay bertanya tentang nenek, kakek hanya diam  saja.”
“Kalau begitu berarti Kay jangan bertanya soal nenek lagi. Kay gak mau kan jika kakek bersedih?” Kay mengangguk. Nampak dari kejauhan lelaki itu keluar dari Rumah Makan Padang dengan membawa bungkusan yang ia genggam di tangannya.
“Kay……” teriak lelaki itu dari kejauhan sambil mengangkat bungkusan yang ia pegang. Terlihat senyum bahagia dari wajahnya. Lelaki itu pun langsung menyebrang, namun tak disangka sebuah mobil melintas dengan sangat laju dan akhirnya menabrak lelaki itu. Darah bercucuran memenuhi tempat kejadian. Pohon-pohon nampak sunyi, burung pun berhenti bernyanyi melihat tragedi yang terekam oleh langit. Lelaki itu tak bergerak. Semua pengendara lain seketika terhenti.
“Kakeeekkk…..” teriak Kayra memecah sunyi yang terekam dalam beberapa detik itu. Kayra langsung berlari menghampiri kakeknya. Dan aku berusaha mengejar langkah Kayra.
“Kakek bangun kek, Kakek banguuunnnn…. Kakeekkk…” Isak tangis Kayra memecah.
“Cepat bawa bapak ini ke Rumah Sakit!”
***
“Apa anda adalah keluarga korban?”
“Iya dok, bagaimana keadaannya?”
“Maaf, kami sudah berusaha. Tapi Tuhan yang berkehendak. Bersabarlah.” Kata-kata itu seakan membuat tulang-tulangku rontok. Ini pertama kalinya aku merasa sangat kehilangan seseorang yang sebenarnya bukan sapa-siapa di hidupku. Aku memperhatikan wajah Kayra yang tertidur dengan bajunya yang berlumuran darah. Aku segera menggendong Kayra pulang ke rumahku.
Malam telah lenyap di telan duka. Lalu berganti dengan cahaya embun pagi yang siap menuliskan kisah. Kayra hanya terdiam di pangkuan ibuku. Wajah kayra menerawang kesedihan saat jasad kakeknya dimasukkan ke dalam liang lahat. Kayra tetap memperhatikan jasad kakeknya sampai tanah-tanah itu menutupi seluruh tubuh kakeknya, dan menguburnya untuk selama-lamanya.
“Kayra sekarang tinggal dengan ibu ya? Anggap ibu ini sebagai ibu Kayra?” kata ibuku kepada Kayra yang turut berduka dengan tragedi yang menimpa Kayra dan kakeknya.
“Nenek?” Kay tiba-tiba menempelkan tangan kecilnya ke pipi ibuku. Ibuku terdiam heran. “wajah tante sangat mirip dengan foto itu.”
“Kay?” suaraku lirih memandang Kayra.
“Bisakah kalian ikut bersama Kay ke rumah kakek?” Aku dn ibuku menuruti keinginan Kayra. Kebetulan rumah kakek Kayra tidak jauh dari lokasi pemakaman.
“Itu rumah kakek,” menunjjuk ke sebuah rumah kayu tua yang nampak sangat usang. Aku segera membuka pintu rumah tersebut. Kemudian Kay menerobos masuk ke dalam dan mengambil sesuatu di balik tikar bambu.
“Apa ini foto tante?” Kay menyodorkan sebuah foto yang sudah usang  ke ibuku. Mendadak wajah ibuku menjadi sangat layu. Foto tersebut kemudian terjatuh ke lantai beralaskan tanah. Ibuku terdiam membeku. Kemudian memelukku dengan sangat erat.
“Dia adalah ayahmu nak.”

Balikpapan, 6 Februari 2016
Karya: Astrini Arifuddin




Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional Tema BEBAS Penerbit SSAN & Rumah Kita



DARAH TAK BERTUAN

Detik menghabiskan waktu
Awan hitam menggumpal meneriakkan jeritan
Nafas-nafas kecil memekik
Mencari nadi para malaikat
Menelusuri yang bernyawa
Untuk mengairi tubuhnya

Jutaan nadi mengering tak berair
Meminta aliran sungai darah pada penciptanya
Karena hamba-hamba-Nya telah dikepung keserakahan

Rohnya menjerit bersama amarah yang bersemayam di tubuhnya
Menginginkan air darah di permukaan danau
Menginginkan nadi yang mengaliri permadani

Namun semua hanya impian diselembar harapan
Lihat saja, kantong darah itu terlihat murung dan kusam
Tak ada merah yang mengairi nadi
Tak ada darah yang memenuhi danau
Tak ada nadi yang bermandikan darah
Hingga setetes harapannya pun tak nampak menetap di dalamnya

Jarum suntik pun menangis
Mengalirkan sungai derita yang memilukan ibu pertiwi
Karena mereka yang tunduk dengan ketakutannya

Mereka yang terbaring di sana
Apakah kalian mendengarnya?
Atau mungkin kalian berpura-pura tuli?
Tak mengerti, serupa suram
Diam meniti embun pagi yang bergantungan

Mereka yang mencari dirimu?
Apakah kamu ada?
Atau mungkin kamu sibuk bersembunyi di kolong ranjang
Menyembunyikan diri dari harapannya
Hingga kamu membusuk di tempat persembunyianmu
Sementara nafas-nafas itu tak memiliki banyak waktu
Bahkan mataharipun telah menjauh dari jantungnya
Dari hembusan nafas dan irama denyut nadi
Hingga ia menjadi debu

Apa harus pecahan kaca itu kutaburkan kematamu?
Agar kau mau memperdulikannya
Apa harus alunan musik itu memecah gendang telingamu?
Agar pendengaranmu jelas akan harapannya
Atau bahkan pasukan lintah itu menghabisimu?
Sampai pada akhirnya kau dapati namamu terukir di nisan

Aku tak ingin memaksamu
Tak juga menginginkanmu tunduk dengan perintahku
Lakukan saja semaumu
Hingga nantinya sisi baikmu menghampirimu
Menggenggam lembut tanganmu, lalu memeluk tubuh segarmu
Dari setiap perjumpaanmu dengan musim yang terbit
Untuk harapan yang telah aku katakan diatara luka-luka yang menganga